Anis

Anis, mahasiswa psikologi semester 2, tidak terlalu pintar, sudah 2 semester ia lewati dengan ip 2,16 dan 2,35, memang kurang memuaskan, tapi mau apalagi. Ia sudah belajar, sudah menghapal semua teori yang ada di transparansi dan kopian dari tim studi club di kelasnya. Tapi ia hanya mengerti sedikit yang dihapalnya. Ia tak pernah bisa mengaplikasikan nya ke dunia nyata. Ia suka menulis diari, tapi bukan berarti ia pnya bakat jadi penulis, ia suka menghayal, sayang khayalannya sering tak selesai, jadi sulit untuk menuangkannya dalam sebuah buku. Dengan jarak kos sekitar 2 km dari kosnya, ia menikmati setiap hari yang membosankan, melewalati jalan yang sama, pemandangan yang sama, hamper setiap hari. Sampai di kampus kuliah dengan ruangan yang sama, teman yang sama, cerita tak bermutu, tertawa dari cerita konyol yang sebenarnya tak terlalu konyol, semua sama, kecuali hari dan tanggal berbeda, selain itu sama. Dikantin, ia menemui wajah2 orang Indonesia, sawo matang, pesek dengan perawakan yang sama. Membosankan! Seandainya ada makhluk luar angkasa yang mampir dikantin itu, tentunya akan lebih menarik.



Untuk mahasiswa introvert sekelas dia, mungkin salah ngambil jurusan psikologi, dia tdk bisa berinteraksi denga orang banyak. Tapi kalopun di fakultas eksak, hanya akan menambah beban karena ia buta sama sekali dengan fisika dan matematika, kuliah di kedokteran hanya akan membuat ia gila dgn hapalan yang menggunung. Kuliah di filsafat ia kadang tak jua terlalu memusingkan soal hidup, para pemikir itu hanya kurang kerjaan. Tak kuliah bukan juga bukan pikiran yang baik, orang tuanya tak menginginkan dia menjadi pengangguran, hidup di dunia perlu uang. Masuk institute seni, ia tak pandai berakting dan berekspresi, hnya membuatnya semakin minder. Kebetulan kemarin SPMB lulus di psikologi, kata orang2 jurusan itu prospeknya bagus, ya sudah..pikir anis, manusia itu memang selalu hidup dari pandangan orang disekitarnya.

Hidup yang datar itu membosankan tapi terkadang ia juga bisa berpikir, banyak orang yang melewati hidupnya dengan tragedy dan nasib yang silih berganti dan menyengsarakan, mrk berlomba2 mencari ketenangan hidup. Manusia itu memang slalu merasa tidak puas.

Dan bagi anis untuk menyadari kepuasan dan merasa syukur itu sulit. ia masih muda, imannya belum sekuat baja, dengan segala sesuatu yang dimilikinya, ia bukanlah apa2, ia tidak berparas cantik, hanya tampang standar wanita indonesia, kulit sawo matang, hidung pesek, tinggi 163 cm. ia tak punya pacar, ia tak memiliki sahabat, hanya beberapa teman kuliah. Ia bukan orang populer di kampus. Seandainya ia menghilang pun tak ada yang akan menyadarinya, tak akan ada yang merasa kehilangan, tak akan ada yang membutuhkannya, karena ia perpikir ada dan tak ada dia di kelas, tak pernah ada manfaatnya, ia bukan ketua kelas atau mahasiswa yang rajin bertanya pada dosen. Bisa mendengarkan dosen dengan tekun dan mengerti apa yang dijelaskan, bagi anis sudah amat membanggakan. Selebihnya kegiatan lain diluar kampus ia tak punya.

Lalu apa yang menarik untuk diceritakan dari seorang anis? Justru karena ketidakada istimewaan itu. Karena kadang terlalu banyak anis2 lain didunia ini dan anis2 ini gemar membaca sesuatu yang tidak hanya kontradiksi, tapi membawa keseharian oranglain yang mirip dengan diri kita sebenarnya adalah sesuatu yang menyenangkan bukan? Lalu sebagai anis2 yang lain tak ada salahnya saya membagi pengalaman bersama bahwa kita tidak sendiri.

Bahwa terkadang kita tidak perlu menilai orang hanya dari wajah, tampang dari otak, tajir n dari uang yang ia punya.. setiap orang punya value tersendiri untuk menyatakan ia berharga, meskipun ia tidak pintar, tidak cantik, tidak kaya, tidak pandai bergaul, dan tidak terkenal. Tapi justru kesederhanaan menjadi bahan utama bagi seseorang untuk menjadi bersahaja dan bijak.

Justru ketika hidup berjalan dengan amat tidak adil, kita akan berhenti berpikir apa maknanya dan ketika berada diatas kesuksesan kita akan lupa memaknai kesuksesan tersebut.

Justru kesederhanaan dan mawas diri akan membuat kita mampu memandang ke atas dan kebawah bahwa dunia itu adil, bahwa Tuhan itu adil, bahwa gambaran kesombongan kenistapaan itu memang seharusnya ada.

Dunia boleh berjalan tidak sesuai keinginan kita, tapi kita harus berjalan sesuai dengan yang kita dan Tuhan inginkan.

Just respect ur self, if no one couldn’t respect u

Nikah

peer group (teman gaul, sahabat dll)...Antara demokrasi dan nikah? Apa yang ada diantara keduanya? Bingung? Sama! Karena sebenarnya memang tidak ada yang terjadi diantara keduanya. Tapi terlepas dari ada tidaknya sesuatu antara demokrasi dan nikah, rasanya selain demokrasi, mungkin nikah adalah kata yang paling popular abad ini. Atau jika tidak diabad ini setidaknya itulah yang terjadi disekeliling saya. Jika di kampus, saya akan disuguhi oleh beragam wacana dan doktrin sosial-politik, budaya materialisme ataupun hedonisme yang selalu menari-nari dengan riangnya, sehingga nikah menjadi sangat jauh bahkan tidak dimasukkan kedalam agenda kehidupan. Maka di peer group saya yang lain, nikah menjadi pembicaraan yang selalu hangat untuk disuguhkan, bahkan ditunggu-tunggu layaknya segelas capucino hangat ditengah dinginnya suasana hujan…hehe..hiperbolis

Mungkin wacana nikah yang kencang dihembuskan oleh peer group tersebut (sebut saja peer group x) terjadi karena telah adanya pemahaman yang bulat bahwa pernikahan adalah penyempurna hidup. Dengan menikah berarti hidup sudah sempurna menjadi satu, bukan lagi setengah. Dengan menikah berarti salah satu variabel untuk menjadi bagian dari umat muhammad telah terpenuhi

Nikah rasanya jika tangan ini diangkat setingginya pun belum cukup menggambarkan rasa setuju saya bahw nikah adalah penyempurna hidup, setidaknya di dunia. Nikah yang merupakan salah satu dari 2 mitsaqan ghaliza, menjadikan saya begitu mensakralkan dan mengagungkan sebuah pernikahan, tidak hanya proses pernikahan ataupun yang terjadi selama sebuah pernikahan berjalan, tapi juga dari niat atau motif yang ada dari pra pernikahan.

Terus terang saya bosan mendengar kalimat : “ah, dia berkacamata! Mmmm kalo bisa yang oriental n tinggi!...maunya sih anak kedokteran...”. Atau si A kurang tinggi, si B terlalu aktivis jadi gimana gitu, si C terlalu gemuk, maunya yang agak kurusan, coba si D gak tembem pipinya, pendidikan G Cuma SMA, kerjaan H mapan gak ya?” dan masih banyak alasan yang bisa diungkapkan sampai Z. atau yang paling didambakan : “gak macem2, ane Cuma mau yang seperti khatijah berumur aisyah!” aha, ke laut aja mas!

Tidak ada yang salah karena memiliki kriteria. Kriteria adalah satu keniscayaan. Namun manusia tidak hidup dengan kriteria, tapi dengan kenyataan dimana kriteria yang didambakan belum tentu didapatkan. Ngapain juga kita berlelah2 untuk berkutat dengan kriteria dambaan kita, padahal kita belum tentu menjadi kriteria dari orang yang menjadi kriteria kita. Have you think that?

Semoga kita smua bisa menjaga diri kita dari paradigma2 sesat yang selalu menari riang disekitar kita..amien…